MENANAMKAN KECERDASAN EMOSIONAL PADA ANAK – Part 1
Kecerdasan emosional (emotional intelligence atau EI) berkaitan dengan emosi atau pengenalan perasaan. Daniel Goleman menyatakan bahwa orang-orang yang sukses adalah orang-orang yang bisa menata diri dan emosinya. IQ dan EI merupakan konsep yang berbeda. IQ berbicara tentang anak-anak yang cerdas, yang memiliki daya tangkap yang tinggi, mendapatkan rangking di sekolah sedangkan EI terkait dengan kemampuan mengendalikan emosi.
Kecerdasan emosional mencakup beberapa hal yaitu kemampuan untuk memahami, mengendalikan, dan mengarahkan emosi sendiri dan emosi orang lain. Jadi pada dasarnya EI merupakan suatu kemampuan yang didukung keterampilan untuk mengenal, memahami, dan mengendalikan emosi baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain. Ciri-ciri seseorang yang memiliki EI yang baik antara lain orang tersebut bisa mengenali perasaannya sendiri, memiliki empati, mampu mengontrol emosi, menetapkan tujuan hidupnya, dan yang terakhir mampu membina hubungan antar pribadi yang baik dengan orang lain. EI adalah kemampuan untuk memahami emosi orang lain dan cara mengendalikan emosi diri sendiri.
Walaupun emosi itu jenisnya beraneka ragam seperti marah, sedih, senang, kecewa, dan sebagainya namun kita harus mampu mengaturnya dengan baik. Contohnya saat seorang ibu marah dengan anaknya karena anaknya telat pulang sekolah. Hal yang perlu kita lihat disini adalah sebenarnya ibu ini marah atau khawatir, kedua hal tersebut sebenarnya berbeda. Orangtua diharapkan mengetahui kapan dan bagaimana seharusnya dalam penyampaian emosi yang tepat kepada anaknya. Orangtua harus tahu perasaan dirinya terlebih dahulu. Dengan mengetahui perasaan pribadi, kita akan lebih mudah memahami perasaan orang lain.
EI tidak dapat berkembang dengan baik tanpa dukungan dari orangtua. Orangtua harus selalu menjadi ”model” atau teladan positif bagi anak-anaknya. Keluarga adalah pembentuk karakter paling kuat bagi seorang anak. Selain itu lingkungan tempat tinggal si anak memberikan pengaruh yang tak kalah penting. Peran orangtua dalam mengembangkan EI dapat dimulai sejak dini. Saat si anak masih bayi, orangtua dapat menunjukkan kepada anak-anak bahwa orangtua mengerti emosi yang ditunjukkan si anak. Contoh sederhananya adalah saat bayi menangis karena ibunya telat memberikan ASI, ibu sebaiknya berbicara dengan si bayi dengan berkata ”Maaf ya sayang, tadi Mama lagi mandi, kamu haus ya” kemudian dengan menggendong dan memeluk si anak, sudah cukup memberikan makna bagi si anak kalau ibunya memahami perasaan anak.
Komunikasi Perasaan dengan Anak Usia Sekolah
Untuk anak usia sekolah dan remaja, tentunya pendekatan yang dilakukan orangtua harus berbeda. Pada tahapan ini, anak sudah mampu untuk diajak berkomunikasi atau berdiskusi dengan orangtua. Pembicaraan sehari-hari antara orangtua dan anak tidak terlepas dari unsur emosi yang dialami keduanya. Orangtua tidak perlu sungkan untuk meminta maaf kepada si anak, jika memang melakukan kesalahan. Karena dari sinilah anak dapat belajar untuk mengelola dan menyampaikan emosinya.
Anak yang memiliki kecerdasan emosi tinggi dapat dilihat dari tingkah lakunya sehari-hari. Sebagai contoh ketika temannya menangis, dia memberikan tissue kepada temannya dan mencoba untuk menghibur. Inilah yang disebut dengan empati. Contoh lainnya ialah saat orangtua tidak menuruti keinginan si anak untuk membeli sesuatu yang diinginkannya, anak bisa mengerti penjelasan orangtuanya. Inilah yang disebut dengan kontrol diri.
Kecerdasan emosi atau EI akan memberikan dampak positif bagi masa depan anak, baik untuk kemampuan berkomunikasi maupun kemampuannya untuk beradaptasi dengan lingkungan. EI terbentuk karena adanya kerja sama yang selaras antara pikiran dan perasaan. Bagaimana memahami apa yang sedang dirasakan tentu saja memerlukan suatu kepekaan dan pemikiran terhadap proses kehidupan.
Karakteristik Anak-Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosi atau EI yang Tinggi :
Anak yang memiliki kemampuan kesadaran tinggi, dimana ia menyadari dan mengenal emosi yang sedang dialaminya serta penyebab dari munculnya emosi tersebut. Jika sudah demikian maka ia akan mampu memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Misalnya Dewi tahu ia sedang sedih dan rindu. Ia sedih karena kerinduannya terhadap ayahnya yang sedang bertugas ke luar kota. Untuk menghilangkannya maka ia mencoba untuk menelepon ayahnya dan berkomunikasi dalam waktu tertentu.
Anak yang mampu mengungkapkan emosinya dengan kadar yang tepat, pada waktu yang tepat, dan dengan cara yang tepat. Misalnya suatu hari Agnes menginginkan membeli mainan, namun tidak dibelikan oleh ibunya. Ia tahu bahwa ia tidak harus menangis sejadi-jadinya di supermarket dan merengek untuk minta dibelikan. Ia akan berusaha untuk membujuk ibunya misalnya dengan mengatakan ibunya baik atau ia akan menunggu waktu yang tepat ketika suasana hati ibunya sedang senang lalu ia akan mengutarakan keinginannya tersebut.
Anak yang memiliki kemampuan dalam mengenali dan membaca emosi orang lain yang ditangkap melalui isyarat non-verbal antara lain dari nada bicara, gerak-gerik, atau ekspresi wajah. Dengan kemampuan empati yang tinggi, anak cenderung lebih tenang dan tidak terlalu agresif. Ia lebih dapat berperilaku sosial seperti sigap membantu dan berbagi dengan orang lain.
Anak yang mampu membina hubungan dengan orang lain, yaitu melalui keterampilan melakukan percakapan. Banyak anak yang mempunyai masalah dalam berteman karena kurang terampil melakukan percakapan. Anak sulit mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit pula memahami keinginan serta kemauan orang lain. Hal ini juga dapat terlihat pada saat anak mencoba berkenalan dengan teman baru dimana anak seringkali memperlihatkan cara yang justru mengganggu, menyakiti, atau bertingkah laku mementingkan diri sendiri. Untuk memberikan keterampilan berbahasa kepada anak, orangtua dapat memberikan latihan melalui percakapan sehari-hari, dimana semakin orangtua berhasil menjadi model bagi anak maka semakin besar kemungkinan anak akan menggunakannya dalam situasi lain bersama temannya. Orangtua bisa menjadwalkan saat berkomunikasi dengan anak misalnya saat bersama berangkat ke sekolah, dengan konsep berbagi pikiran dan perasaan, kegagalan dan kesalahan, masalah dan solusi, dan lain-lain.
Anak yang memiliki selera humor yang tinggi akan mampu beradaptasi dengan lingkungan sosialnya. Humor adalah unsur penting dalam perkembangan sosial anak. Anak yang cenderung humoris akan lebih disenangi oleh teman sebayanya, dibandingkan anak yang kurang punya rasa humor. Memang rasa humoris merupakan suatu bakat alamiah, namun dapat dipelajari. Ajaklah anak untuk menikmati acara atau membaca buku yang lucu untuk mengembangkan selera humornya. Selain itu ciptakan suasana yang penuh humor di dalam kehidupan sehari-hari di rumah, menikmati kebersamaan dan belajar menyelesaikan masalah dengan tersenyum sambil memikirkan ataupun melakukan hal-hal yang lucu.
Pentingnya Aspek Kecerdasan Emosi (EI)
Manusia harus berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Awalnya seseorang pada usia kanak-kanak memiliki pemahaman terhadap dirinya sendiri berdasarkan kacamatanya sendiri. Seiring bertambahnya usia, ia harus mampu menggabungkan apa yang dipahaminya tentang dirinya sendiri dan apa yang dipahami orang lain tentang dirinya, agar ia menjadi pribadi yang dapat diterima lingkungan sosialnya. Untuk itu manusia perlu memiliki keterampilan sosial dalam upaya beradaptasi dengan lingkungannya. Keterampilan sosial ini akan didapat melalui kecerdasan emosi yang dimilikinya sehingga ia mampu mengenal, memahami, dan mengendalikan setiap emosi dari dalam dirinya dan mampu mengenal, memahami, dan mengendalikan emosi yang berasal dari orang-orang di sekitarnya. Pada akhirnya ia akan menjadi orang yang berkemampuan dan berketerampilan yang dapat mengubah dirinya menjadi lebih baik dalam menjalani kehidupan.
Tulisan ini sangat bermanfaat bagi orang tua untuk membentuk karakter anak………….