Browse By

Terapi Stem Cell untuk Multiple Sclerosis

Apakah bisa penyakit Multiple Sclerosis (MS) radang sumsum disembuhkan dengan stem cell? Berapa persen tingkat kesembuhannya?

Terapi stem cell untuk penyakit multiple sclerosis masih merupakan terapi yang diuji cobakan untuk pasien-pasien MS. Sejak pertama kali diperkenalkan tahun 1995,  terapi stem cell hematopoetik (CD34+) yang diambil dari sumsum tulang atau darah pasien sendiri setelah diberi obat Cyclophosphamide (2 hari awal) dilanjutkan G-CSF (Granulocyte Colony Stimulating Factors), terapi tersebut dikombinasi dengan kemoterapi dan radioterapi untuk mengkondisikan pasien MS. Ditambah pengobatan untuk mengatasi efek kemoterapi, radiasi, dan gejala MS yang dialami pasien. Saat ini sudah lebih dari 400 pasien yang mengikuti uji klinis di Eropa ( Inggris, Spanyol, Itali, Yunani, Rusia, Swiss, Jerman, Perancis, Chechnya), China, Amerika dan Kanada  untuk menilai efek terapi stem cell dikombinasi dengan kemoterapi dan radioterapi tersebut. Uji klinis skala besar yang membandingkan efektivitas terapi stem cell dengan kelompok kontrol oleh Asosiasi transplantasi sumsum tulang Eropa (EBMT, European Group for Blood and Marrow Transplantion) dan  di Amerika (US National Institute of Health) belum berhasil mengumpulkan jumlah pasien MS yang ditargetkan.

Yang perlu dicermati di sini, belum ada kesepakatan antara sentra transplantasi yang melaksanakan uji klinis tersebut dalam regimen terapi yang sama. Masing-masing sentra atau grup kerja memiliki pilihan obat kemoterapi tertentu dengan dosis tertentu, juga dosis radiasi dan metode radiasinya sendiri, di samping cara memproses stem cell (CD34+ stem cell hematopoetic).

Prinsip terapi stem cell ini adalah mengeliminasi sistem imun yang bermasalah (autoimun), dan mencangkokkan sistem imun baru yang berasal dari stem cell pasien sendiri. Dosis minimum stem cell yang diinjeksikan ke pasien adalah 3×106 CD34+ stem cell hematopoetik per kg berat badan pasien. Dapat pula diseleksi agar sel limfosit T autoreaktif dihilangkan dari populasi sel yang akan diinjeksikan ke pasien.Tujuan dari pengkondisian (kemoterapi dan/atau radiasi) adalah untuk mengeliminasi kelompok-kelompok sel limfosit T autoreaktif yang tersebar di organ-organ target, darah, sumsum tulang dan jaringan limfoid. Selain itu sel-sel limfosit T autoreaktif yang sanggup bertahan dari kemo dan/atau radiasi, bisa juga masih terdapat di populasi stem cell yang diinjeksikan, dapat dihilangkan kemudian dengan pemberian antibodi yang mengenali sel tersebut secara spesifik, namanya ATG (Anti Thymocyte Globulin).

Sejauh ini, laporan yang menilai efek terapi stem cell kombinasi dengan kemoterapi dan/atau radioterapi dalam jangka waktu 3 tahun menunjukkan rangkaian terapi tersebut secara positif mengendalikan proses peradangan, menahan progresivitas penyakit MS (60-70%). Pemeriksaan klinis menunjukkan skor tingkat kecacatan fisik (EDSS) yang stabil dan hanya sebagian yang skornya membaik. Pasien-pasien MS dengan tipe malignant (akut dan cepat sekali progresivitasnya) yang menerima terapi stem cell kombinasi kemoterapi dan/atau radiasi ini adalah kelompok pasien yang paling baik responnya terhadap rangkaian terapi ini, diikuti dengan perubahan signifikan terhadap sistem imun yang dicangkokkan. Angka kegagalan terapi dilaporkan dari uji klinis di Amerika sekitar 24%, ditandai dengan makin hebatnya gejala peradangan dan progresivitas penyakit MS. Pada kasus-kasus tertentu, ditemukan timbulnya penyakit autoimun di organ lain seperti di kelenjar gondok dan sel-sel darah merah dan kepin-keping darah (trombosit). Angka mortalitas(kematian) terkait dengan rangkaian terapi telah ditekan selama dekade terakhir menjadi sekitar 1-2% dari yang semula 5-6%.

Sebuah pilot study di Iran menguji keamanan transplantasi stem cell mesenkim  yang diinjeksikan ke-10 pasien MS. Pertimbangan menggunakan stem cell mesenkim karena stem cell mesenkim memiliki karakter yang unik, mampu menekan sistem imun dan merubah kondisi sistem imun. Stem cell mesenkim diambil dari sumsum tulang pasien sendiri 2-3 bulan sebelum transplantasi, dikultur untuk memperoleh jumlah yang cukup untuk ditransplantasikan kembali ke pasien. Hasilnya menunjukkan 3 sampai 5 pasien mengalami perburukan gejala MS, dan pertambahan plak sklerosis dari hasil MRI. Hanya satu pasien yang menunjukkan perbaikan gejala klinis dan berkurangnya lesi plak sklerosis. Secara umum, prosedur transplantasi stem cell mesenkim dinilai aman.

Uji klinis fase I/II telah dilakukan ke 15 pasien MS dengan injeksi stem cell mesenkim lewat IV atau intra-tekal (langsung ke cairan serebrospinal dari arah punggung/tulang belakang). Dosis stem cell mesenkim yang diinjeksikan adalah 60-70×106 sel per injeksi per pasien.Pasien dipantau selama 6 – 28 bulan. Hasil pemeriksaan MRI tidak menunjukkan lesi patologis yang memburuk. Sejak 2009, International Study Group (gabungan dari pakar neurologi di bidang MS, stem cell dan imunologi) membuka uji klinis terkontrol di beberapa lokasi yakni Kanada (Ottawa Hospital Research Institute dan McGill University Montreal Neurological Institute), Italia (Stem Cell and Cell therapy centre Ospedale San Martino dan Departemen Neuroscience University of Genova), Inggris (Institute of Clinical Neuroscience Bristol), Swedia (Karolinska Institute).

Apakah efek samping dari transplantasi stem cell?

Toksisitas terkait dengan obat yang digunakan untuk memobilisasi stem cell hematopoetik dari sumsum tulang ke darah tepi (G-CSF) di antaranya kelainan neurologis (kelumpuhan di separuh badan, kejang), kelainan darah, infeksi, reaksi alergi, nyeri tulang, perburukan gejala MS.

Toksisitas terkait dengan transplantasi stem cell hematopoetik meliputi kelumpuhan, gangguan penglihatan, sakit kepala, fatigue, kelainan neurologis ataxia, kejang, infeksi (saluran kencing, bakteri bisa beredar di darah atau sepsis, re-aktivasi virus citomegalovirus), diare, toksisitas ke jantung dan liver, pendarahan, berkurangnya jumlah trombosit (keping-keping darah untuk proses pembekuan darah).

Toksisitas terkait pengkondisian(kemoterapi atau radiasi) : bertambahnya kelainan neurologis, infeksi jamur (Actinomyces sp), pembekuan darah abnormal di hampir seluruh pembuluh darah (DIC), kerusakan organ akibat terhalangnya peredaran darah (iskemia).

Reaksi toksik akibat ATG dilaporkan reaksi alergi, demam dan peradangan daerah rongga mulut (mukositis).

Reaksi toksik yang muncul jangka panjang setelah transplantasi stem cell hematopoetik adalah infeksi virus Varicella-Zoster, Herpes-Simplex Virus (HSV), gangguan pembekuan darah, munculnya penyakit autoimun sekunder misal peradangan di kelenjar gondok (tiroiditis) dan berkurangnya jumlah sel-sel darah karena dieliminasi oleh sistem imun sendiri.

Mengingat banyaknya reaksi toksik yang dilaporkan dari rangkaian terapi stem cell hematopoetik untuk pasien MS, maka pilihan berikutnya adalah terapi stem cell mesenkim. Efek samping dari terapi stem cell mesenkim sangat minimal jika dibandingkan dengan terapi stem cell hematopoetik, yakni demam dan sakit kepala. Namun, uji klinis untuk menentukan efektivitas terapi stem cell mesenkim untuk penyakit MS belum menunjukkan kelebihan terapi stem cell mesenkim di atas terapi stem cell hematopoetik. Sehingga, masih memerlukan uji klinis yang valid untuk menentukan stem cell jenis apa yang lebih baik untuk terapi penyakit MS.

Ke mana dapat memperoleh terapi stem cell untuk penyakit MS?

Ada empat pertimbangan yang bisa ibu jadikan acuan untuk mempertimbangkan:

Pertama, sebelum memutuskan ke mana harus pergi untuk terapi stem cell, ibu dan keluarga perlu menimbang dulu manfaat dan resiko dari terapi stem cell untuk penyakit MS. Terapi stem cell untuk penyakit MS statusnya masih dalam tahap uji coba. Manfaatnya telah dilaporkan untuk terapi stem cell hematopoetik, namun belum jelas efektivitasnya untuk stem cell mesenkim. Efek samping yang ditimbulkan dari terapi stem cell tersebut banyak dan beragam. Sementara itu, saat ini terapi medis (obat-obatan) untuk MS sudah tersedia dan masih bisa diupayakan terapi-terapi suportif lainnya di Indonesia.

Kedua, sentra-sentra transplantasi yang mengerjakan uji klinis ini adalah sentra yang telah memenuhi standard pelayanan medis, proses dan produksi sel, laboratorium yang diakreditasi dan disertifikasi oleh badan nasional atau Internasional untuk mengerjakan transplantasi stem cell. Standar baku mutu untuk pelayanan medis adalah GCP (Good Clinical Practice), untuk proses dan produksi sel standarnya adalah GMP (Good Manufacturing Practice), untuk laboratorium adalah GLP (Good Laboratory Practice). Masing-masing standard baku mutu ini ada lembaga atau badan khusus yang menilai kualifikasi sesuai undang-undang di tingkat negara atau kawasan. Misalnya di Eropa, harus disertifikasi oleh Uni Eropa. Beberapa sentra transplantasi yang disebut di atas bisa menjadi alternatif untuk memulai pencarian lokasi uji klinis.

Ketiga, tentang uji klinis (tahap uji coba) terapi stem cell untuk penyakit MS. Uji klinis juga diatur oleh lembaga khusus dengan undang-undang khusus. Saat ini, US National Institute of Health memiliki komite untuk menilai apakah uji klinis diizinkan untuk dikerjakan atau tidak. Pasien yang direkrut dalam uji klinis akan diminta kesediaannya dalam form tertulis beserta penjelasan terapi yang akan diujikan. Semua biaya terkait persiapan pelaksanaan terapi, transplantasi stem cell dan monitoring pasca transplantasi ditanggung oleh sentra transplantasi yang mendapat izin untuk melakukan uji klinis. Jadi pasien tidak mengeluarkan biaya apapun untuk masuk ke dalam uji klinis. Karena terapi stem cell ini masih dalam tahap uji coba, maka tidak ada komersialisasi terapi di sini. Tidak boleh mengenakan biaya apapun ke pasien yang masuk dalam uji klinis. Sehingga pertanyaan ibu tentang berapa biayanya, maka jawabannya adalah seharusnya GRATIS. Pasien yang masuk dalam uji klinis dibiayai oleh pendanaan riset dari sentra transplantasi yang bersangkutan.

Keempat, jenis stem cell yang bisa digunakan untuk terapi. Berdasarkan laporan dari jurnal kedokteran dan ilmiah, sumber stem cell diambil dari pasien sendiri, dapat diambil dari sumsum tulang (stem cell hematopoetik dan stem cell mesenkim) atau dimobilisasi ke darah tepi (stem cell hematopoetik). Di luar ini, maka bahaya yang ditimbulkan adalah lebih besar. Misalnya bila menggunakan stem cell embrionik atau pluripotent, terdapat resiko pembentukan tumor. Stem cell yang berasal dari hewan atau orang lain akan ditolak oleh sistem imun kita dan terdapat resiko penularan penyakit dari hewan ke manusia (Zoonosis).

Tentang pertanyaan terakhir ibu M apakah di Penang atau Kwang Co yang lebih baik , terus terang saya belum pernah mendengar kedua nama sentra pelayanan medis ini dan belum bisa menilai kapasitas sentra yang ibu maksud dalam memberikan terapi stem cell. Coba ibu timbang dengan empat acuan di atas.

Semoga jawaban ini mampu memberi pencerahan dan pertimbangan untuk ibu dan suami dalam memilih upaya pengobatan paling optimal.

Terima kasih atas pertanyaan ibu M. (dr Radiana Antarianto)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *