Anak Bilingual : Pakai Bahasa Apa di Rumah?
“Seorang anak laki-laki, WNI usia 8 tahun, sejak usia 2 tahun tinggal bersama orang tuanya di Jerman, suatu hari sedang sendirian di rumah dan ingin membuat puding kemasan dari Indonesia. Namun karena ia selalu diajak bicara bahasa Jerman oleh orang tuanya di rumah, maka ia tidak mengerti petunjuk cara membuat puding dan akhirnya menerjemahkan bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Jerman melalui internet.”
“Seorang guru SD di Jerman memanggil orang tua seorang murid WNI dan bertanya : Orang tua bicara pada anak memakai bahasa apa di rumah? Ketika orang tua menjawab bahsa Indonesia dan bahasa Jerman, sang guru pun meminta mereka agar memakai bahasa Indonesia saja karena aksen bahasa jerman anaknya buruk di sekolah.”
Dua kisah di atas adalah contoh kasus anak bilingual : anak Indonesia yang tinggal Jerman. Namun pola bahasa yang digunakan oleh orang tua kurang tepat : kasus pertama orang tua menghilangkan penggunaan bahasa ibu dan kasus kedua orang tua mencampur-campurkan bahasa di rumah.
Apa itu bilingual? Bilingual adalah memahami dan menggunakan dua atau pun lebih bahasa dengan derajat yang berbeda-beda pada waktu yang berbeda-beda pula (Buckley, 2003).
Menurut Langdon dan Cheng (dalam Buckley, 2003), salah satu pola bahasa yang tepat yang dapat digunakan oleh orang tua untuk anak bilingual adalah :
One Parent, One language (Satu Orang Tua, Satu Bahasa).
Contoh :
- Ibu orang Indonesia dan bapak orang Jerman, maka ibu berbicara memakai Bahasa Indonesia kepada anak dan bapak berbicara memakai Bahasa Jerman kepada anak.
- Ibu orang Perancis dan bapak orang Indonesia, maka ibu berbicara memakai Bahasa Perancis kepada anak dan bapak berbicara memakai Bahasa Indonesia kepada anak.
- Ibu dan bapak orang Indonesia, maka keduanya bicara memakai Bahasa Indonesia.
One Parent One Language ini berlaku di mana pun orang tua dan anak tinggal dan harus dilakukan secara konsisten – tidak sesekali memakai bahasa asing dan saat anak mencampurkan kosakata bahasa asing, orang tua menggantinya dengan bahasa ibu. Contoh : “Kamu mau roti?“ bukan “Kamu mau Brot?“. Lalu jika anak berkata „“Ibu, aku mau trinken“, maka ibu membenarkan “Oo, kamu mau minum“.
Anak bilingual mampu menggunakan dua bahasa sekaligus di rumah (Papalia, D. E. & Martorell, G., 2015). Memakai bahasa ibu di rumah akan membuat anak fasih berbicara bahasa ibu, yang mana hal itu akan membuat anak mampu menguasai bahasa asing dengan mudah dan mengucapkannya dengan aksen yang tepat dan bagus. Akan tetapi, jika orang tua mencampurkan beberapa bahasa di rumah, aksen bahasa asing anak akan menjadi kurang bagus.
Lalu dari mana anak belajar bahasa asing (bahasa lokal)? Tentu saja dari lingkungan. Anak adalah pembelajar yang ajaib : mereka mampu menyerap beberapa bahasa sekaligus dengan sangat cepat – dengan hanya diajak bicara.
Hal yang perlu diingat, mengajarkan bahasa asing kepada anak itu baik, tapi melupakan bahasa ibu itu tidak tepat. Pada anak bilingual yang sudah masuk sekolah, biasanya bahasa ibu sebagai bahasa minoritas bisa hilang, jika orang tua menggunakan bahasa lokal atau Bahasa Inggris di rumah. Dan jika di kemudian hari anak kembali ke negara asalnya, maka kesempatan untuk berkarya menjadi kecil.
Khusus untuk bahasa yang tidak populer seperti Bahasa Indonesia, kalau tidak dari ibu atau bapaknya, dari mana lagi anak dapat menguasainya?
Oleh karena itu, berkomunikasi lah dengan anak memakai bahasa yang paling dikuasai : Bahasa Ibu; bahasa yang paling berguna dibandingkan bahasa-bahasa lainnya. Bahasa yang mendekatkan anak dengan nenek dan kakek dan saudara-saudara orang tuanya. Bahasa yang membantu anak dalam pencarian jati dirinya saat dewasa – saat mereka ingin tahu tentang sejarah budaya dan tanah kelahiran orang tuanya.
Oleh : Afrilla Dwitasari, M.Psi., Psikolog Afrilla Dwitasari adalah seorang psikolog anak lulusan Magister Profesi Psikologi Klinis Anak Universitas Indonesia. Sebelum menetap di Jerman tahun 2013, ia pernah bekerja di salah satu Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) di Jakarta dan beberapa sekolah di Jakarta dan Cirebon. Afrilla telah mengambil short course : Piklerian Approach of Early Childhood Education oleh Pikler Institute pada tahun 2018 dan 2020 di Budapest, Hungaria.
Sumber :
Papalia, D.E., & Martorell, G. (2015). Experience Human Development (13th ed.).
New York : McGraw-Hill Education.
Buckley, B. (2003). Children.s Communication Skills : From Birth to Five Years.
New York : Routledge.