When Mommy Goes Back to School (part 1)
Bisa dibayangkan ya kalau seorang ibu kembali sekolah? Ingat pengalaman saya dulu waktu kuliah S2 di Australia dan masih belum punya anak saja, yang rasanya kepala jadi kaki, kaki jadi kepala, nggak kebayang….
Apalagi di sini, di Jerman, sudah punya anak, bahasa Jerman juga masih terbatas, nggak punya pengetahun hidup di Jerman seperti apa. Saya sempat bertanya dalam hati, apakah saya berani mengambil resiko ini? Bagaimana nanti kalau saya tiap hari harus ke kampus sementara suami juga sama-sama sekolah? Bagaimana nanti mencari informasi TK atau daycare untuk anak saya sementara bahasa Jerman saya terbatas padahal semua informasi yang tersedia dalam bahasa Jerman? Bagiamana mana nanti mengatur waktu? Gimana kalau anak sakit?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut yang berlari-lari di kepala saya sekitar 5 tahun lalu ketika memperoleh beasiswa DAAD untuk mengambil program S3 di Universitas Bonn. Alhamdulillah… atas berkat ridho Allah, support dari keluarga, sahabat dan komunitas, semua berjalan lancar dan tidak seburuk yang saya bayangkan. Apalagi suami saya selalu menekankan ke saya, apapun bisa dibuat mudah dan dijalani dengan menyenangkan, tergantung bagaimana kita menempatkan masalah tersebut.
Kalau boleh cerita, berikut ini tantangan beserta tips selama saya kuliah di Jerman:
Tantangan pertama adalah mencari daycare, kindergaten atau sekolah untuk anak. Saat itu, Galura berumur 1.5 tahun ketika kami bertiga sampai di Bonn, sementara jumlah TK yang menyediakan tempat untuk anak berumur di bawah 3 tahun sangaaaattt sedikit. Jika kita mendaftar tahun ini, mungkin baru 2 tahun kemudian dapat tempat, padahal kita perlunya segera. Untuk mendapatkan solusi ini, akhirnya kami mengunjungi Biro Keluarga yang ada di Universitas. Jangan khawatir mommies, hampir semua universitas di Jerman menyedikan biro ini yang bahkan biasanya dipublished di websitenya. Dan alhamdlillah… semua staf yang ada di sana bisa berbahasa Inggris, ramah dan sangat membantu. Saya sarankan, bagi para mommies yang ingin membawa keluarga dan anak terutama, untuk menanyakan ke pihak universitas atau institut mengenai isu penitipan anak. Memang kita tidak akan mendapatkan tempat langsung sih, tapi setidaknya kita mendapat info yang sangat membantu. Dari pihak universitas, saya disarankan untuk mencoba mencari tagesmutter dan diarahkan ke Family Network yang salah satu aktivitasnya adalah mengorganisasi asosiasi para tages mutter. Alhamdulillah setelah melalui proses sekitar 2 minggu, kami berhasil menemukan tages mutter untuk Galura. Biaya tages mutter ini pun sangat bervaritif, range-nya sekitar 5-6 euro per jam belum termasuk makan siang. Bagi mahasiswa dengan beasiswa terbatas, tentu jumlah tersebut mahal sekali ya, apalag kalau kita berencana ke kampus tiap hari. Tinggal dikalikan saja 5 euro dengan 40 jam :D. Tapi alhamdulillah, bagi penerima beasiswa DAAD, akan ada tunjungan untuk anak. Jika suami istri sama-sama sekolah, atau suami mengikuti kursus bahasa atau sekolah, jangan khawatir, bagi penerima beasiswa non DAAD bisa memperoleh subsisidi dari Pemerintah Kota. Bahkan di pertaturan yang baru, ibu yang tidak bekerja pun mendapat kesempatan untuk menitipikan anaknya di tages mutter atau kindergarten meskipun belum berumur 3 tahun. Besarnya bantuan dari pemerintah kota ini tergantung dari pendapatan kita. Info ini biasanya tersedia di website pemerintah kota masing-masing, atau jika ingin penjelasan lebih lanjut bisa mendatangi Jugendamt di masing-masing kota. Sebelum mulai menitipkan anak, kita anak menandatangani kontrak dan ada penjelasan bagaimana nanti mekanisme penitipan nantinya. Jika memang kita punya kebutuhan khusus, misalnya kita hanya perlu makanan halal untuk anak atau menu vegetarian, bisa dijelaskan di awal. Jangan lupa juga menjelaskana kebiasaan khusus anak kita kepada tages mutter. Pada awal saya menitipkan Galura yang saat itu belum bisa bahasa Jerman, saya memerikan daftar kata-kata dalam bahasa Indonesia dan terjemahannya dalam bahasa Jerman. Jadi lucu juga, karena tages mutter saya jadi tahu sedikit bahasa Indonesia. O iya, biasanya satu tages mutter akan mengasuh 5-6 anak. Aktivitasnya pun macam-macam. Kadang para tages mutter itu berkumpul dengan tages mutter lain dan mengadakan aktivitas bersama di playground, jalan-jalan, dan masih banyak lagi. Alhamdulillah, anak juga akan belajar sosialisasi dan yang jelas, anak akan belajar bahasa plus budaya Jerman. Jangan kaget nanti ketika belum 3 tahun anak kita sudah bisa mengoreksi ucapan kita atau mengatakan bahwa posisi meletakkan garpu kita setelah selesai makan salah :D.
Tantangan lain setelah mencari tagesmutter adalah mencari kindergarten. Jangan kaget ya mommies, memang tantangan itu kayanya nggak pernah berhenti… Tapi percayalah, what does not kill you will make you stronger. Ok, karena Galura sudah cukup umur untuk masuk kindergarten, maka saatnya kami mulai hunting kindergarten. Sebagai gambaran, ada dua pilihan kindergarten, public kindergarten atau privat kindergarten. Public kindergarten dikelola oleh pemerintah kota, sedangkan privat kindergarten dikelola oleh pihak swasta, biasanya kindergarten dengan metode Montessori, atau internasional kindergarten dengan basis bahasa Inggris. Namanya juga sejolah privat biasanya biayanya juga lebih mahal. Untuk public kindergarten, biayanya sesuai dengan penghasilan orang tua dan sistem pembayarannya akan langsung di diretc debit dari rekening orang tua. Nah, inilah sistem yang menurut saya sangat bagus, karena urusan finansial di sekolah publik langsung dengan pemerintah, maka sekolahpun bahkan tidak tahu menahu penghasilan orang tua. Beda sekali kan dengan di Indonesia, yang mana kalau kita mencari TK atau sekolah, yang langsung disodorkan adalah list uang pangkal, list uang bulanan dan list lainnya. Duuh… kapan ya pendidikan kita bisa seperti di sini.. jadi ke mana-mana…
O, iya… biasanya, tiap-tiap kampus juga mempunyai kindergarten. Bahkan Universitas Bonn kalau tidak salah memiliki 3 kindergarten, tapi ya begitu… waiting listnya puanjaaaangggg dan letaknya kurang strategis untuk saya, karena sangat jauh baik dari rumah maupun dari institut. Alhamdulillah, kami akhirnya mendapat tempat di salah satu kindergarten di are tempat tinggal kami. Memang, menurut sistem di sini, biasanya kindergarten akan memproritaskan anak-anak dari lokasi di sekitar kindergarten. Meskipun sulit, tapi percayalah mommies… bahwa yang namanya rejeki kadang memang tidak disangka-sangka… Jadi meskipun diberi tahu oleh kindergarten kalau waiting listnya panjang dan hanya mengambil 8 anak baru pertahun, tapi percalah, kadang pertolongan Allah bisa datang dari manapun, dan intnya… jangan berhenti berharap dan berdoa. Di sinilah pentingnya juga untuk menjaga hubungan baik dengan teman sesama komunitas, karena kebetulan saya mendapat tempat di kindergarten ini atas rekomendasi sahabat kami yang putrinya sudah terlebih dulu diterima di TK tersebut. Kami pun menerima panggilan untuk wawancara, dan singkat cerita, alhamdulillah Galura diterima di TK tersebut. O, iya.. perlu diingat bahwa pelayanan di TK perharinya pun bermacam-macam, dan tidak semua kindergarten memberikan pelayanan full day. Di kindergarten Galura sendiri menawarkan 3 opsi, 25 jam, 35 jam dan 45 jam. Berhubung kami harus di kampus tiap hari dari jam 9-5, maka kami mau tidak mau harus mengambil pilihan 45 jam, yang artinya Galura harus makan siang di kindergarten. Sekali lagi, jangan sungkan untuk berterus terang tentang kebutuhan kita dan anak, terutama untuk makanan, jika kita dari awal memilih pilihan makanan halal atau vegetarian.Tidak hanya untuk makan siang ya, tapi namanya juga anak-anak, biasanya sering ada birthday party bagi-bagi kue atau permen yang kita nggak tahu kejelasannya, jangan lupa sampaikan ke gurunya kalau anak kita tidak biasa dengan makanan seperti itu. Pastinya di rumah anak-anak juga harus difahamkan dengan kondisi ini. Insha Allah jika kita menjelaskan baik-baik plus senyum ramah, pihak sekolah akan mengerti…
Pada intinya, untuk kebutuhan penitipan anak dan sekolah ini memang cukup banyak petualangan yang saya alami, karena harus kontak sana sini, cek sana sini, ketemu banyak orang, dan bahkan karena saking seringnya saya ke Jugendamt untuk menanyakan soal TK , petugasnya sampai hapal sama saya… Tapi itulah dinamikan dan romantika yang harus saya jalani. Meskipun banyak tenaga dan waktu yang dikeluarkan, Alhamdulillah, sistem pendidikan di Jerman dan segala fasilitas pendukungan sangat bagus, sehingga tantangan menjadi ibu dan sekolah pun aman terkendali.
Tantangan pertama bisa terlewati… So, bagaimana mommies, jadi ibu dan sekolah di Jerman? Warum nicht?
Evita Pangaribowo
Evita Hanie Pangaribowo adalah seorang ibu dari satu putri, Galura Iskandar yang saat ini berumur 6 tahun. Evita (demikian biasa dipanggil), menyelesaikan pendidikan S2 di bidang International and Development Economics dari Australian National University di Canberra, Australia, dan S3 di bidang Agricultural Economics dari University of Bonn di Jerman. Hobi perempuan asli Jogjakarta (dan ingin kembali ke Jogjakarta) ini adalah membaca, jalan-jalan, memasak dan berkebun. Tinggal di Bonn bersama keluarganya sejak Agustus 2008.