Browse By

Positive Parenting

Positive parenting merupakan sebuah rujukan bagi orang tua bagaimana bersikap terhadap anak. Seperti sempat disinggung oleh kepala Instalasi Kesehatan Jiwa Masayarakat dan Anak RSJ Dr. Soeharto Herdjan ini, anak adalah amanah dari Allah yang dititipkan kepada kita. Kita sadari bahwa sebagai orang tua hampir semua yang kita lakukan, misalkan bekerja, kita lakukan demi kepentingan anak kita. Proses parenting sendiri merupakan hal sehari-hari yang dilakukan orang tua. Secara istilah, parenting merupakan model pengasuhan bagaimana membesarkan anak sejak dalam kandungan, setelah dilahirkan sampai menjelang dewasa.

Dalam hal pengasuhan anak, ada beberapa tipe orang tua.

  1. Otoritatif, orang tua yang sangat bijaksana
  2. Otoritarian, orang tua yang sangat otoriter. Ketika orang tua berinteraksi dengan anak, orang tua menempatkan diri sebagai orang tua, bukan sebagai teman. Orang tua merasa yang paling benar dalam segala hal. Ketika anak meminta sesuatu dan tidak sesuai dengan harapan orang tua maka orang tua cenderung berkata “tidak”.
  3. Permisif, orang tua yang terlalu memanjakan anaknya. Semua permintaan anaknya dikabulkan, sehingga anak tidak terbiasa untuk berusaha mendapatkan sesuatu dengan usaha yang panjang. Tipe pengasuhan seperti ini dikemudian hari dapat menimbulkan gangguan jiwa dari ringan sampai berat pada anak. Anak tidak dapat mengontrol diri dan memiliki kemampuan problem solving yang rendah sekali. Anak menjadi sangat emosional atau sebaliknya menjadi sangat introvert.
  4. Acuh, membiarkan anaknya. Biasanya orang tua seperti ini kurang dalam segi pengetahuan dan pendidikan. Dampaknya pada anak, anak tidak dapat mengatur diri dan tidak mengerti apa yang perlu ia dilakukan untuk hidup.

Lingkungan keluarga yang baik adalah apabila kedua orang tua, ayah dan ibu memiliki tipe yang sama, sama-sama otoritatif. Apabila tipe-nya berbeda, contohnya satu bijaksana yang lain otoriter, atau yang satu otoriter dan yang lain permisif, maka akan menimbulkan kebingungan pada anak. Pada akhirnya bisa menimbulkan banyak gangguan perilaku, depresi dan kecemasan di kemudian hari. Padahal yang kita harapkan, anak-anak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dan menentukan tujuan hidupnya sendiri.

Dalam paparannya, dokter yang juga konsultan pendidikan anak berkebutuhan khusus ini sempat menjelaskan beberapa masa pertumbuhan manusia. Saat di dalam kandungan ibunya, manusia mengalami masa yang penuh kenyamanan. Pada saat seorang bayi dilahirkan maka mulai timbul masalah. Seorang bayi yang kecil pun sudah dapat merasakan stress. Ia yang tadinya ada di lingkungan yang nyaman di dalam kandungan kemudian masuk ke lingkungan yang berbeda. Bayi-bayi yang stress biasanya akan mengalami keterlambatan dalam perkembangannya, misalnya terlambat bicara atau terlambat berjalan. Disinilah diperlukan kedekatan emosional dengan orang tua dan lingkungan yang kondusif. Kita bisa melihat bahwa anak yang dilahirkan dipenjara misalnya dan dilahirkan dalam keluarga yang bahagia akan berbeda tampilannya. Masa bayi dan anak-anak dikatakan sebagai masa otonomi. Pada masa ini, mereka belajar untuk mengerti bahwa mereka bisa melakukan sesuatu.

Masa berikutnya, masa remaja merupakan masa pembentukan identitas diri. Masa ini merupakan masa paling berat, dikenal sebagai masa badai. Pada masa ini anak-anak terpapar oleh banyaknya pengaruh dari lingkungan sekitarnya. Diperlukan kepribadian yang tangguh agar para remaja bisa bertahan dari pengaruh buruk lingkungannya. Masa remaja berlangsung sampai anak berusia 19 tahun.

Masa pertumbuhan berikutnya adalah masa dewasa dan masa usia lanjut. Bila anak bisa melewati masa remaja dan dewasa dengan baik, maka pada masa lanjut usia ia akan menjadi orang yang sangat bijaksana.

Cara pengasuhan orang tua akan berpengaruh terhadap kepribadian anak di masa depan. Salah satunya adalah cara kita berbicara kepada anak. Tanpa kita sadari kita sering berkata salah kepada anak, contohnya: “Kamu sok tahu deh.”, “Aduh, banyak tanya deh kamu.”, “Cerewet banget sih kamu.”, “Kamu keras kepala.”. Atau ketika anak mengutarakan pemikirannya yang tidak sesuai dengan orang tua, orang tua berkata “Pikiran kamu aneh” atau “Ngapain sih kamu mikir begitu”. Padahal, orang tua bisa berbicara dengan anak dengan cara yang lebih positif. Untuk anak-anak yang senang bertanya misalnya, orang tua bisa mengatakan “Kamu punya rasa ingin tahu yang besar.”

Orang tua yang cenderung menekan anak, mengatakan sesuatu yang tidak baik, maka akan menyebabkan kecenderungan anak menjadi anak yang introvert, tidak berani menghadapi masalah, lebih banyak menarik diri. Dengan sering memuji, mengatakan anak pintar, cerdas, maka kita akan menjadikan anak kita menjadi pribadi yang ekstrovert. Kondisi yang parah adalah apabila orang tua terlalu berlebihan memuji. Akibatnya anak akan menjadi pribadi yang narsis, selalu ingin dipuji. Dan ketika ia tidak mendapatkan pujian maka akan menimbulkan masalah.

Dalam kesempatan ini, dr Suzy sempat mengingatkan para orang tua untuk berhati-hati dalam berkata kepada anak. Kadang-kadang apa yang kita katakan kepada anak akan terus melekat dalam pikirannya hingga ia dewasa dan mempengaruhi kepribadiannya. Kita dapat bercermin ke diri kita sendiri, adakah perkataan orang tua kita, baik perkataan yang baik maupun yang buruk, yang sampai saat ini masih terngiang-ngiang dalam pikiran kita. Jawabannya, tentu saja ada.

Oleh karena itu, orang tua harus berhati-hati dalam menerapkan pola asuh kepada anak-anaknya. Pola asuh yang salah akan menimbulkan berbagai ganguan jiwa, diantaranya gangguan kecemasan, gangguan kepribadian dan kemampuan problem solving yang buruk. Tentu kita masih ingat dengan kasus artis Marshanda dengan video-nya yang menghebohkan di internet beberapa waktu lalu. Dalam video itu ia marah-marah terhadap teman-teman masa kecilnya dan terlihat stress. Gangguan seperti ini dikenal dengan gangguan bipolar. Memang tidak semua orang bisa mengatasi masalah dengan baik. Kerentanan seseorang terhadap sesuatu masalah tergantung dari tingkat spriritual masing-masing orang.

Ganguan jiwa pada anak amatlah luas cakupannya dan kadang tidak disadari oleh orang tua. Kesulitan belajar dapat dianggap sebagai salah suatu gangguan jiwa. Banyak pula orang terkenal yang mengalami gangguan jiwa. Salah satunya Albert Einstein yang mengalami asperger syndrom. Selama hidupnya Albert Einstein tidak pernah menikah dikarenakan gangguan jiwa ini. Pengidap asperger syndrom tidak dapat berinteraksi dengan orang lain, ia hanya bisa berinteraksi dengan hal-hal yang dia senangi. Contoh lain adalah Tom cruise, yang mengidap disleksia, atau kesulitan dalam membaca. Ada pula anak yang disebut hiperaktif, biasanya anak yang mengidap gangguan ini tidak bisa fokus duduk tenang barang sebentar saja.

Berikutnya, dokter yang energik dan aktif dalam berbagai organisasi Kedokteran Jiwa ini juga sempat menjelaskan bebrapa contoh kebocoran dalam pola pengasuhan anak. Beliau mengatakan bahwa perilaku orang tua yang kurang baik akan menjadi pembelajaran yang tidak baik bagi anak. Misalnya, anak diajarkan untuk selalu jujur dan tidak berbohong. Namun pada kenyataannya orang tua malah mempraktekkan perbuatan berbohong, misalkan ketika menerima telepon dari orang yang tidak diinginkan, anak disuruh mengatakan bahwa ayah sedang tidur. Hasilnya anak akan menerima pesan yang salah. Walaupun kerap dikatakan oleh orang tua bahwa berbohong itu tidak baik, anak tetap akan berpikir berpikir bahwa berbohong itu sebenarnya diperbolehkan karena toh dicontohkan oleh orang tuanya.

Lalu, bagaimana kiat-kiat menjadi orang tua yang sukses. Berikut ini adalah beberapa tips pengasuhan yang sempat dibagi oleh dr Suzy kepada sahabat-sahabat Kharisma yang hadir.

  1. Hargai setiap hal baik pada anak
  2. Luangkan waktu untuk berbicara dengan anak. Biasanya Ibu memiliki waktu lebih banyak bersama anak-anak. Namun sebaiknya, ayah pun juga meluangkan waktu untuk dekat dengan anak. Banyak masalah yang timbul ketika anak kurang dekat dengan salah satu dari orang tua. Salah satunya masalah identifikasi gender, yaitu anak perempuan ke laki-lakian atau anak laki-laki keperempuan-perempuanan. Salah satu peyebabnya adalah anak laki-laki yang terlalu sering diasuh oleh Ibu. Karena sering melihat apa yang dilakukan oleh ibunya maka ia pun cenderung meniru Ibu, jadilah ia anak laki-laki yang keperempuan-perempuanan. Masalah lain adalah masalah orientasi seksual. Cross dress, sudah menikah selama 10 tahun, namun ketika berhubungan seksual harus memakai baju perempuan. Ternyata saat ini sudah ada komunitasnya di internet. Akibat kurang baik dari gangguan ini adalah bila anak pelaku cross dress menyaksikan kelakuan ayahnya. Ditakutkan anak ini akan mengalami stress dan mungkin mengarah ke gangguan jiwa.
  3. Perlakukan disiplin, tidak hanya menghukum.
  4. Mulai ajarkan anak cara bertanggung jawab.
  5. Hindari pemberian label pada anak, misalnya “bandel”, karena akan terus melekat pada anak.
  6. Berikan contoh, bukan sekedar kata-kata. Misalnya dalam hal berbohong. Orang tua mengatakan jangan berbohong, namun dalam prakteknya sering melakukan kebohongan yang disaksikan oleh anak.
  7. Luangkan waktu untuk anak-anak. Boleh dekat dengan anak, namun jangan dibanjiri dengan interaksi atau kedekatan dengan satu pihak orang tua saja. Karena akan menyebabkan identifikasi yang tidak baik.
  8. Adakan pertemuan bersama. Misalnya: makan bersama.
  9. Bersikap konsisten dan tegas namun penuh kasih sayang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *