Budaya Sungkan: Inginkah Kita Tetap Tertindas?
Setelah Iin puas menumpahkan semua keluhannya, saya bertanya, “In kamu sudah terus terang ke si Ibunya?”. “Belum sih”, jawabnya. “Tapi masak si Ibu enggak merasa sih, mataku sudah bengkak begini, sikapku berubah begini, kok si Ibu tetap cuek”, Iin mengaku belum terus terang.
Berani terus terang! Bagi orang Indonesia yang masih lekat dengan budaya sungkan, sangat perlu berlatih terus terang. Sungkan dalam istilah komunikasi berarti belum tersampaikannya pesan kita kepada lawan bicara secara verbal dengan tepat. Dalam kata lain terjadi miskomunikasi. Yang satu merasa sudah menyampaikan pesan, sedangkan lawan bicara merasa tidak ada signal apapun.
Bahasa tubuh tak selalu mewakili pesan kita. Seperti dalam kasus Iin diatas. Mau nangis seember sampai mata bengkak, bila kita tidak mengungkapkan dengan bahasa verbal, belum tentu lawan bicara mengerti. Mungkin kita terbiasa berkomunikasi melalui bahasa perasaan. Sebenarnya dalam ilmu komunikasi tidak ada istilah bahasa perasaan. Yang tepat adalah perasaan kita tercerminkan melalui bahasa tubuh. Dalam bergaul tanpa sadar, acap kali kita menuntut orang lain mengerti perasaan kita. Padahal kita belum ungkapkan secara verbal.
Untuk budaya Eropa, khususnya Jerman, kebiasaan ini tidak bisa diterapkan. Apalagi dengan lawan bicara yang tidak dekat. Atau ketika menghadapi permasalahan formil (urusan bisnis, berkaitan dengan hukum, dsb). Orang Jerman tidak punya atau tidak mau buka “buku tafsir” untuk bisa membaca permasalahan atau perasaan kita. Yang mereka tangkap ya apa adanya. Yaitu yaang nampak di permukaan. Dalam kasus Iin, perubahan sikap dan mata bengkaknya bisa saja diartikan oleh keluarga asuh dengan permasalahan pribadi, yang sedang dihadapi Iin. Dan dalam budaya Jerman bila kita tidak dekat, tidak sopan mengorek permasalahan pribadi seseorang.
Saya teringat peristiwa ketika saya masih skripsi S1 sekitar 5 tahun yang lalu. Pada saat itu saya konsultasi per telefon dengan dosen Jerman. Mengungkapkan permasalahan lewat telefon dalam bahasa Jerman tidaklah mudah. Biasanya bila dosen saya tidak ada di tempat, saya tinggalkan pesan di mesin penjawab telefon. Tak berapa lama kemudian dosen saya menelpon balik. Saya masih ingat dosen saya bertanya di telepon, “Wie geht’s Ihnen?” (bagaimana kabar Anda?), spontan saya jawab, “Gut, Danke” (Baik, terima kasih)”.Tak disangka dosen saya membalas, “Ach so… dann ist das Problem aufgeklärt, schön!” (Oh Begitu, berarti permasalahannya sudah beres, baguslah), nadanya serius, tapi tidak marah. Dosen saya mengambil ancang-ancang untuk mengakhiri pembicaraan telepon.
Dari sebuah pertanyaan yang simpel, „bagaimana kabar”, kita bisa melihat pertanyaan itu bukan sekedar basa-basi. Dalam budaya Indonesia pertanyaan itu jawabannya hampir selalu „kabar baik”. Seharusnya pada saat itu saya menjawab,” Kabar kurang baik atau kabar buruk (tergantung tingkat kesulitan), saya punya permasalahan”.
Terus terang menyampaikan permasalahan harus diungkapkan secara verbal sejak awal pembicaraan. Dengan demikian lawan bicara kita akan tanggap. Jangan muter-muter atau disampaikan di akhir pembicaraan.
Juga penting penyampaian pesan harus diimbangi dengan bahasa tubuh yang tepat. Ada peristiwa yang terkait. Teman kuliah saya pernah berkomentar, “Orang Indonesia kok selalu tersenyum ya, walaupun rumahnya kebanjiran?”, rupanya temanku juga melihat liputan banjir di Jakarta melalui televisi. Pesan yang tertangkap oleh teman saya adalah suasana riang gembira saat kebanjiran. Ini diungkapkan oleh korban kebanjiran dengan bahasa tubuh mereka. Biasalah pada nampang di depan kamera, tertawa, atau tetap cengar-cengir saat diwawancarai. Padahal sebenarnya mereka sedang kesusahan. Itulah hebatnya orang Indonesia. Ya… memang senyum itu sedekah.
Kembali ke bahasa tubuh. Untuk menyampaikan pesan, bahasa tubuh sangat menunjang. Dengan orang Jerman, bila kita ingin menyampaikan pesan penting, jangan cengar-cengir atau tetap senyum. Nanti pesan yang tersampaikan adalah permasalahan kita tidak penting. Apakah senyum kita sebagai kompensasi agar lawan bicara tidak marah? Ada juga kebiasaan bahasa tubuh budaya kita. Tubuh agak dibungkukkan atau posisi tangan kita merapat. Apakah karena kita merasa bersalah? Bila dari bahasa tubuh kita sudah menunjukkan berada “di posisi kalah”, bagaimana kita mampu berterus terang? Sungkan lagi, sungkan lagi. Jangan takut, kita tidak bersalah!
Budaya sungkan juga berarti kita belum mampu menyampaikan pesan secara verbal dengan kata-kata yang tegas dan jelas. Dalam budaya Indonesia sering ada kata-kata sopan. Tapi kalau diterjemahkan dalam bahasa Jerman menunjukkan ketidaktegasan kita. Seperti misalnya kata „mungkin” yang sering kita gunakan. Dalam kalimat, „Mungkin ada baiknya bila Bapak…”, tidak bisa kita gunakan dalam penyampaian bahasa Jerman: „Vielleicht ist es besser, daß Sie…”. Kata „mungkin” atau „ada baiknya” yang dalam bahasa Indonesia dijadikan pengantar sopan santun, dianggap dalam budaya Jerman sebagai pesan yang tidak penting. Atau kata-kata seperti ,”Oh ya Pak, Maaf Bapak belum bayar gaji saya”. Kata pengantar „oh ya” bila diterjemahkan dalam bahasa Jerman „Übrigens” menunjukkan pesan yang ringan. Ya kalau tidak dibayar tidak masalah (padahal anak istri kelaparan).
Teringat cara berbicara Rasulullah SAW. Beliau bila mengatakan hal yang penting sampai mengulang tiga kali. Bahasa tubuh beliau juga sangat jelas. Dan hadis yang mengatakan, berdakwahlah dengan bahasa yang dimengerti kaum. Dakwah berarti sama saja menyampaikan pesan pada lawan bicara. Hadis terakhir ini menunjukkan, cara penyampaiannya juga harus sesuaikan dengan budaya setempat.
Cobalah kita belajar berterus terang. Belajar menyampaikan pesan dengan tepat.Teori mudah, prakteknya sulit? Ingat : Wer will sucht Wege, wer nicht will sucht Gründe (Siapa yang berusaha mencari jalan keluar, siapa yang tidak ingin, akan cari alasan).
*Untuk adik-adik Au Pair di Jerman: belajar terus terang dengan tepat.